Rabu, 29 September 2010

Berpikir Di Luar Kotak

Apa yang di maksud dengan berfikir di luar kotak? Mungkin kita perlu mendefinisikan dulu apa yang di maksud dengan berfikir di dalam kotak. Yang di maksud dengan berfikir di dalam kotak adalah kita selalu berfikir dengan berpijakan kepada kebiasaan. apa yang sudah biasa di lakukan oleh orang lain, termasuk di dalamnya hal – hal yang sudah bisa dan biasa kita lakukan atau yang mudah kita lakukan. Berpikir di dalam kotak juga berarti bagaimana kita berfikir dalam zona nyaman kita , tentu saja berfikir di luar kotak adalah kebalikanya, Yaitu cara berfikir kita dengan melihat hal-hal yang tidak biasa, hal-hal yang aneh di luar kemampuan kita, tidak biasa dilakukan oleh orang lain, tidak biasa dilakukan oleh diri kita, termasuk tidak biasa dilakukan oleh kelompok kita, bahkan tidak ada orang yang pernah melakukanya.
Berfikir di luar kotak memang melawan kecenderungan manusia yang ingin selalu nyaman, ingin berada di zona nyaman atau status quo, namun masalahnya jika kita hanya berfikir dengan cara-cara yang biasa, maka haslinyapun akan biasa.
Jika kita ingin mendapatkan sesuatu yang berbeda, maka kitapuun harus berfikir dengan cara yang berbeda. Memang dengan hanya berfikir di dalam kotak saja anda masih tetap bisa bergerak, perusahaan anda masih bisa terus berjalan, namun kondisi anda maupun kondisi perusahaan anda akan stagnan, artinya berjalan ditempat, atau sekedar hanya bertahan, kalaupun ada peningkatan, peningkatan itu hanya terjadi secara linear atau lambat. Mungkin kita tidak asing dengan peningkatan 5 atau 10 % bahkan kurang dalam setahun.
bagi seorang pemikir revolusioner, jika kita ingin menggandakan hasil kita, kita harus berfikir di luar kotak dimana kita tidak lagi berharap bahwa peningkatan itu hanya 5 % atau 10 % dalam setahun, kita ingin peningkatan itu berkali lipat, bahkan bukan hanya dalam setahun tapi kurang dari setahun. Misalnya kita ingin pendapatan kita berkali lipat hanya dalam waktu 6 bulan.
Berfikir di dalam kotak itu justru dapat membahayakan diri kita, mungkin kita menganggap bahwa kita sudah cukup berfikir dalam kotak saja, masalahnya beban akan terus bertambah, persaingan akan semakin ketat, jika kita hanya berfikir didalam kotak sementara orang lain berfikir di luar kotak, dengan ide-ide baru yang inovatif, ide-ide baru yang terobosan, maka kita akan kalah, kita akan tenggelam. Oleh karena itu kita perlu berfikir di luar kotak sehingga kita mampu bersaing dengan orang lain.

Cobalah tengok keluar, cobalah tengok di toko, cobalah tengok di internet produk-produk baru terus bermunculan.
Kita lihat seperti handphone, mungkin produknya tetap berupa hangphone atau alat komunikasi, namun dapat kita lihat fitur yang inovatif yang hadir di dalam handphone yang baru, handphone lama sudah mulai ketinggalan dan harganyapun akan turun drastis. Jika kita hanya mengandalkan handphone gaya lama, jelas perusahaan handphone akan bankrut dengan segera.
Apapun bisnis kita, persaingan itu tidak akan pernah diam, perubahan tidak akan pernah berhenti, kita harus tetap terus menerus menemukan ide-ide terobosan supaya kita terus berada di depan.
berhubungan dengan masalah waktu, berfikir di luar kotak adalah kita mencari cara-cara baru, bagaimana kita meningkatkan produktivitas diri kita. Bukan hanya meningkat 5 % atau 10 % saja tetapi bagaimana cara kita melipatgandakanya. Jika anda masih mengatakan “Ah itu tidak mungkin!”. Artinya anda masih berfikir di dalam kotak, kita harus berani berfikir di luar kotak, karena jika kita sudah berani berfikir di luar kotak, maka peluang – peluang terobosan akan muncul di hadapan kita. Jika kita membatasi pikiran kita, maka semua ide-ide hebat tersebut diatas tidak akan pernah muncul dan datang kepada kita.
Kita memerlukan berani, berani yang bagaimana?

1. Kita harus berani melawan keraguan, baik itu keraguan yang datang dari kita sendiri, maupun keraguan itu dari orang-orang di sekitar kita. Setiap ide yang baru, setiap ide yang aneh, pasti akan mendapatkan penolakan dari berbagai pihak. Namun anda harus tetap berani, seaneh apapun ide tersebut, bahkan ide anda dianggap ide gila anda harus tetap berani melaksanakan ide-ide tersebut, jika tidak maka anda tidak akan pernah bisa berfikir di luar kotak.
2. Berani mengambil resiko. Jika anda menghasilkan ide-ide baru, gagasan baru untuk meningkatkan produktivitas anda, maka saya katakan bahwa ide tersebut besar kemungkinan untuk tidak berhasil alias gagal. Tidak ada jaminan keberhasilan, karena melakukan sesuatu yang baru tingkat kegagalanya lebih tinggi daripada melakukan sesuatu yang sudah biasa. Karena resikonya besar maka di perlukan suatu keberanian. Suatu keberanian mengambil resiko. Yang jadi pertanyaan adalah kenapa kita mengambil resiko-resiko itu?”.Jawabnya adalah karena di balik resiko tersebut ada sesuatu peluang yang jauh lebih besar. Ingatlah hukum peluang dan resiko, “Semakin besar resiko yang kita ambil, semakin besar pula peluang yang akan kita dapatkan.” Jika kita tidak berani mengambil resiko – resiko yang besar dan kita hanya mengambil resiko-resiko yang kecil, maka apa yang akan kita dapatkan akan kecil pula. Maka wajarlah jika apa yang akan anda raih tetap stagnan atau mengalami peningkatan secara linier dan lambat.

Jika anda ingin menggandakan peningkatan anda, maka anda harus berani berfikir di luar kotak, berani melawan keraguan, berani mengambil resiko. berfikir di luar kotaklah yang memungkinkan kita mendapatkan cara-car baru, cara-cara yang inovatif, cara-cara terobosan, cara-car yang lebih cepat,cara-cara yang tidak biasa.
cara-cara seperti ini hanya akan kita dapatkan jika mau berfikir di luar kotak. memang cara-cara yang akan kita dapatkan jika kita berfikir di luar kotak adalah cara yang tidak biasa, cara yang berbeda. Justru disitulah peluangnya.
Jika anda melakukan cara-cara yang biasa, maka hasilnyapun akan biasa, jika anda melalui jalan yang sama, melalui mobil yang sama, malalui kecepatan yang sama maka waktu yang anda perlukan untuk mencapai tujuan anda akan sama pula.Namun sekali anda berubah, cara anda mengendarai mobil misalnya kecepatan andas di tambah, atau jalan yang anda tempuh berbeda, atau mobil yang anda gunakan berbeda, maka hasilnya akan berbeda pula. Begitu juga dengan pekerjan-pekerjaan lain, jika anda ingin menghasilkan yang berbeda, maka anda harus melakukan sesuatu yang berbeda. Semakin berbeda apa yang anda lakukan, maka semakin besar pula peluang yang akan anda dapatkan.
Dengan berfikir di luar kotak, kita bebas berfikir, kita akan bebas dari cara lama, kita akan bebas dari tradisi, kita akan bebas dari kebiasaan, kita akan bebas dari status quo, dan kita akan terbebas dari zona nyaman.
Semoga bermanfaat…

Senin, 27 September 2010

fraktur

A. PENDAHULUAN
@ Latar Belakang
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Hal ini dapat menimpa siapa saja dari yang muda hingga yang tua. Dampak dari fraktur bermacam – macam sesuai dengan jejas dan karakter tulang yang fraktur. Dengan fraktur diperlukan asuhan keperawatan yang komprehensif sehingga tidak menimbulkan gejala sisa yang dapat berupa kontraktur bahkan tidak berfungsinya kembali jaringan tulang atupun otot sekitar. Untuk itu diperlukan pemberian asuhan keperawatan yang baik dan profesional.
Batang Femur dapat mengalami fraktur oleh trauma langsung, puntiran (twisting), atau pukulan pada bagian depan lutut yang berada dalam posisi fleksi pada kecelakaan jalan raya. Femur merupakan tulang terbesar dalam tubuh dan batang femur pada orang dewasa sangat kuat. Dengan demikian trauma langsung yang keras, seperti yang dapat dialami pada kecelakaan automobile. Perdarahan interna yang massif dapat menimbulkan renjatan berat.
@ Tujuan
Tujuan laporan pendahuluan asuhan keperawatan dengan fraktur adalah :
1. Mengetahui dan memahami mengenai fraktur, meliputi definisi, etiologi dan penatalaksanaan fraktur.
2. Mengetahui masalah keperawatan yang muncul pada kasus fraktur.
3. Mengetahui tindakan keperawatan yang diberikan dan tujuan keperawatan.

B. TINJAUAN TEORI
1. Pengertian
a. Fraktur
Adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, Arif, et al, 2000). Sedangkan menurut Linda Juall C. dalam buku Nursing Care Plans and Dokumentation menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang. Pernyataan ini sama yang diterangkan dalam buku Luckman and Sorensen’s Medical Surgical Nursing.
b. Fraktur Femur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang pada bagian femur.
c. Patah Tulang Tertutup
Didalam buku Kapita Selekta Kedokteran tahun 2000, diungkapkan bahwa patah tulang tertutup adalah patah tulang dimana tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Pendapat lain menyatakan bahwa patah tulang tertutup adalah suatu fraktur yang bersih (karena kulit masih utuh atau tidak robek) tanpa komplikasi (Handerson, M. A, 1992).

2. Etiologi
a. Trauma :
• Langsung (kecelakaan lalulintas)
• Tidak langsung (jatuh dari ketinggian dengan posisi berdiri/duduk sehingga terjadi fraktur tulang belakang )
b. Patologis : Metastase dari tulang
c. Degenerasi
d. Spontan : Terjadi tarikan otot yang sangat kuat.

3. Faktor Predisposisi/Faktor Pencetus
a. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring.
b. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
c. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan. (Oswari E, 1993)

4. Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan (Apley, A. Graham, 1993). Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang (Carpnito, Lynda Juall, 1995). Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya (Black, J.M, et al, 1993).
a. Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur
1) Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.
2) Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang.
( Ignatavicius, Donna D, 1995 )
b. Biologi penyembuhan tulang
Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel tulang.
Ada lima stadium penyembuhan tulang, yaitu:
1. Stadium Satu-Pembentukan Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Sel-sel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung 24 – 48 jam dan perdarahan berhenti sama sekali.
2. Stadium Dua-Proliferasi Seluler
Pada stadium initerjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro kartilago yang berasal dari periosteum,`endosteum,dan bone marrow yang telah mengalami trauma. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru yang menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya.
3. Stadium Tiga-Pembentukan Kallus
Sel–sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau bebat pada permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur (anyaman tulang ) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4 minggu setelah fraktur menyatu.
4. Stadium Empat-Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang normal.
5. Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae yang lebih tebal diletidakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur yang mirip dengan normalnya.

5. Tanda dan Gejala
a. Nyeri, terus menerus dan bertambah berat sampai fragme tulang di imobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk menimbulkan gferakan atar afragmen tulang.
b. Setelah fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak secara alamiah (gerakan luar biasa). Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstimitas yang bisa diketahui adengan membandingkan dengan ekstrimitas normal. Ekstrimitas tak dapat berfungsi denga baik karena fungsi normal otot tergantung pada integritas tulag tempat melengketnya otot.
c. Pada fraktur panjang terjadi pemendeka tulang karena kontraksi otot yang melekat diatas da bawah tempat fraktur.
d. Saat diperiksa dengan tangan teraba derik tulang yang disebut krepitus akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya (uji kreptus dapat berakibat kerusakan jaringan lunak yang lebih berat)
e. Pembegkaan dan perubahan warna lokal pada kulit karena trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi setelahb eberapa jam atau hari.
f. Tidak semua tanda dan gejala diatas terdapat pada setiap fraktur. Diagnosis fraktur tergantung pada gejala, tanda fisik, dan pemeriksaaan sinar X.

6. Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan” menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray:
(1) Bayangan jaringan lunak.
(2) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau juga rotasi.
(3) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
(4) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti:
(1) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
(2) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
(3) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa.
(4) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
b) Pemeriksaan Laboratorium
(1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
(2) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
(3) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
c) Pemeriksaan lain-lain
(1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
(2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
(3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.
(4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang berlebihan.
(5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.
(6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
(Ignatavicius, Donna D, 1995)

7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Kedaruratan.
Bila dicurigai adanya fraktur penting untuk mengimobilisasi bagian tubuh segera sebelum pasien dipindahkan bila pasien yang mengalami cidera harus dipindahkan dari kendaraan sebelum dapat dilakukan pembidaian, ekstrimitas harus disangga diatas dan di bawah tempat fraktur untuk mencegah gerakan rotasi/angulasi. Gerakan frgmen patahan tulang dapat menyebabkan nyeri, kerusakan jaringan lunak, dan perdarahan lebih lanjut. Nyeri dapt dikurangi dengan menghindari gerakan fragmnen tulang dan sendi sekitar fraktur. Pembidaian sangat penting untuk mencegah kerusakan jaringan lunak oleh fragmen tulang.
Imobilisasi tulang panjang ekstrimitas bawah juga dapat dilakkan dengan membebat kedua tungkai bersama, dengan ekstrimitas yang sehat sebagai bidai bagi ekstrimitas yang cidera.
Pada ekstrimitas atas lengan dapat dibebatkan pada dada atau lengan bawah yang cidera digantung pada sling. Pada fraktur terbuka luka ditutup dengan pembalut erdih atau steril untuk mencegah kontaminasi jaringan yang lebih dalam, jangan sekali-kali melakukan reduksi fraktur bahkan jika ada fragmen tulang melalui luka.
Prinsip Penanganan Reduksi Fraktur
1. Reduksi fraktur, mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Reduksi tertutup, fraksi, atau reduksi terbuka dapat dilakukan untuk mereduksi fraktur. Metode yang dipilih tergantung pada sifat fraktur tapi prinsip yang mendasari sama. Sebelu reduksi dan imobilisasi fraktur pasien harus dipersiapkan: ijin melakukan prosedur, analgetik sesuai ketentuan, dan persetujuan anestasi. Reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang ke posisiya dengan manipulasi dan traksi manual.
2. Traksi, digunakan utuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi yang disesuaikan denganspsme otot yang terjadi.
3. Reduksi terbuka, alat fiksasi internal dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku, atau batangan logam dapat digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya.
4. Imobilisasi Fraktur, setelah direduksi fragmen tulang harus di imobilisasi dan dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksternal (gips,pembalutan, bidai, traksi kontinyu, pin dan teknik gips atau fiksator eksternal) dan interna ( implant logam ).
5. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi, segala upaya diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dam imoblisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan. Status neuroveskuler ( mis. Pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan) dipantau dan ahli bedah ortopedi dibri tahu segera bila ada tanda gangguan neurovaskuler. Kegelisahan , ansietas dan ketidaknyamanan dikontrol dengan berbagai pendekatan. Latihan isometrik dan setting otot diusahaka untuk meminimalkan atrifi disuse dan meningkatkan peredaran darah. Pengembalian brtahap pada aktifitas swemula diusahakan sesuai dengan batasan terapeutik.
Faktor yang mempengaruhi penyembuhan fraktur.
• Imoblisasi fragmen tulang
• Kontak fragmen tulang maksimal
• Asupan darah yang memadai
• Nutrisi yang baik
• Latihan pembebanan untuk tulang panjang
• Hormon-hormonn pertumbuhan, tiroid, vitamin D, steroid dan anabolik
• Potensial listrik pada patahan tulang
Faktor yang menghambat penyembuhan tulang
• Trauma lokal ekstensif
• Kehilangan tulang
• Imoblisasi tak memadai
• Rongga atau ajaringan diantara fragmen tulang
• Infeksi
• Keganasan lokal
• Penyakit tulang metabolik (paget)
• Tadiasi tulang (nekrosis radiasi)
• Nekrosis evakuler
• Fraktur intraartikuler (cairan senovial mengandung fibrolisin, yang akan melisis bekuan darah awal dan memperlambat pertumbuhan jendalan)
• Usia (lansia sembuh lebih lama)
• Kartikusteroid (menghambat kecepatan perbaikan)

8. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
Pengumpulan Data
1) Anamnesa
a) Identitas Klien
b) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
(1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi nyeri.
(2) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
(3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
(4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
(5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
c) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain.
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang (Ignatavicius, Donna D, 1995).
e) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik (Ignatavicius, Donna D, 1995).
f) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat (Ignatavicius, Donna D, 1995).
g) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
2) Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.
a) Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
(1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:
(a) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan klien.
(b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
(c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.
(2) Secara sistemik.
b) Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai status neurovaskuler. Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:
(1) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
(a) Cictriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas operasi).
(b) Cape au lait spot (birth mark).
(c) Fistulae.
(d) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
(e) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa (abnormal).
(f) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
(g) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
(2) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:
(a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit.
(b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama disekitar persendian.
(c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal,tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
(3) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.

9. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut
Definisi :
Sensori yang tidak menyenangkan dan pengalaman emosional yang muncul secara aktual atau potensial kerusakan jaringan atau menggambarkan adanya kerusakan (Asosiasi Studi Nyeri Internasional): serangan mendadak atau pelan intensitasnya dari ringan sampai berat yang dapat diantisipasi dengan akhir yang dapat diprediksi dan dengan durasi kurang dari 6 bulan.

Batasan karakteristik :
- Laporan secara verbal atau non verbal
- Fakta dari observasi
- Posisi antalgic untuk menghindari nyeri
- Gerakan melindungi
- Tingkah laku berhati-hati
- Muka topeng
- Gangguan tidur (mata sayu, tampak capek, sulit atau gerakan kacau, menyeringai)
- Terfokus pada diri sendiri
- Fokus menyempit (penurunan persepsi waktu, kerusakan proses berpikir, penurunan interaksi dengan orang dan lingkungan)
- Tingkah laku distraksi, contoh : jalan-jalan, menemui orang lain dan/atau aktivitas, aktivitas berulang-ulang)
- Respon autonom (seperti diaphoresis, perubahan tekanan darah, perubahan nafas, nadi dan dilatasi pupil)
- Perubahan autonomic dalam tonus otot (mungkin dalam rentang dari lemah ke kaku)
- Tingkah laku ekspresif (contoh : gelisah, merintih, menangis, waspada, iritabel, nafas panjang/berkeluh kesah)
- Perubahan dalam nafsu makan dan minum

Faktor yang berhubungan :
Agen injuri (biologi, kimia, fisik, psikologis)
NOC :
 Pain Level,
 Pain control,
 Comfort level
Kriteria Hasil :
 Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)
 Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri
 Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)
 Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
 Tanda vital dalam rentang normal
Pain Management
 Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
 Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
 Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien
 Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri
 Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
 Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang ketidakefektifan kontrol nyeri masa lampau
 Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan
 Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan
 Kurangi faktor presipitasi nyeri
 Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non farmakologi dan inter personal)
 Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
 Ajarkan tentang teknik non farmakologi
 Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
 Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
 Tingkatkan istirahat
 Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil
 Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri
Analgesic Administration
 Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum pemberian obat
 Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis, dan frekuensi
 Cek riwayat alergi
 Pilih analgesik yang diperlukan atau kombinasi dari analgesik ketika pemberian lebih dari satu
 Tentukan pilihan analgesik tergantung tipe dan beratnya nyeri
 Tentukan analgesik pilihan, rute pemberian, dan dosis optimal
 Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk pengobatan nyeri secara teratur
 Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali
 Berikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri hebat
 Evaluasi efektivitas analgesik, tanda dan gejala (efek samping)

b. Kerusakan mobilitas fisik
Definisi :
Keterbatasan dalam kebebasan untuk pergerakan fisik tertentu pada bagian tubuh atau satu atau lebih ekstremitas

Batasan karakteristik :
- Postur tubuh yang tidak stabil selama melakukan kegiatan rutin harian
- Keterbatasan kemampuan untuk melakukan keterampilan motorik kasar
- Keterbatasan kemampuan untuk melakukan keterampilan motorik halus
- Tidak ada koordinasi atau pergerakan yang tersentak-sentak
- Keterbatasan ROM
- Kesulitan berbalik (belok)
- Perubahan gaya berjalan (Misal : penurunan kecepatan berjalan, kesulitan memulai jalan, langkah sempit, kaki diseret, goyangan yang berlebihan pada posisi lateral)
- Penurunan waktu reaksi
- Bergerak menyebabkan nafas menjadi pendek
- Usaha yang kuat untuk perubahan gerak (peningkatan perhatian untuk aktivitas lain, mengontrol perilaku, fokus dalam anggapan ketidakmampuan aktivitas)
- Pergerakan yang lambat
- Bergerak menyebabkan tremor

Faktor yang berhubungan :
- Pengobatan
- Terapi pembatasan gerak
- Kurang pengetahuan tentang kegunaan pergerakan fisik
- Indeks massa tubuh diatas 75 tahun percentil sesuai dengan usia
- Kerusakan persepsi sensori
- Tidak nyaman, nyeri
- Kerusakan muskuloskeletal dan neuromuskuler
- Intoleransi aktivitas/penurunan kekuatan dan stamina
- Depresi mood atau cemas
- Kerusakan kognitif
- Penurunan kekuatan otot, kontrol dan atau masa
- Keengganan untuk memulai gerak
- Gaya hidup yang menetap, tidak digunakan, deconditioning
- Malnutrisi selektif atau umum
- Kehilangan integritas struktur tulang

NOC :
Ambulation : Walking
Mobility Level
Self Care : activities of Daily Living (ADLs)

Kriteria Hasil :
 Dapat mempertahankan dan meningkatkan kekuatan dan fungsi tubuh
 Pasien menunjukkan perilaku yang memungkinkan melakukan aktivitas
NIC :
Exercise Therapy : Ambulation (Terapi Aktivitas : Ambulasi)

 Monitoring vital sign sebelm/sesudah latihan dan lihat respon pasien saat latihan
 Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana ambulasi sesuai dengan kebutuhan
 Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat berjalan dan cegah terhadap cedera
 Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain tentang teknik ambulasi
 Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
 Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADLs secara mandiri sesuai kemampuan
 Dampingi dan Bantu pasien saat mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan ADLs ps.
 Berikan alat Bantu jika klien memerlukan.
 Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika diperlukan

c. Deficit self care
( kurang perawatan diri : mandi, berpakaian, makan, dan toileting )
Definisi : Gangguan kemampuan untuk melakukan ADL pada diri

Batasan karakteristik :
ketidakmampuan untuk mandi, ketidakmampuan untuk berpakaian, ketidakmampuan untuk makan, ketidakmampuan untuk toileting.

Faktor yang berhubungan :
kelemahan, kerusakan kognitif atau perceptual, kerusakan neuromuskular/ otot-otot saraf.

NOC
- Self care : hygiene
- Self care : Activity of Daily Living (ADL)
- Self care : Bathing, dressing, feeding, dan toileting.

Kriteria hasil :
- Tubuh tidak bau/kotor dan kulit terjaga
- Tertarik untuk ADL sesuai kemampuannya
- Menjelaskan dan menggunakan metode perawatan diri secara aman dan dengan kesulitan minimal
Self care assistance : ADL (Activity Daily Living)
 Monitor kemempuan klien untuk perawatan diri yang mandiri.
 Monitor kebutuhan klien untuk alat-alat bantu untuk kebersihan diri, berpakaian, berhias, toileting dan makan.
 Sediakan bantuan sampai klien mampu secara utuh untuk melakukan self-care.
 Dorong klien untuk melakukan aktivitas sehari-hari yang normal sesuai kemampuan yang dimiliki.
 Dorong untuk melakukan secara mandiri, tapi beri bantuan ketika klien tidak mampu melakukannya.
 Ajarkan klien/ keluarga untuk mendorong kemandirian, untuk memberikan bantuan hanya jika pasien tidak mampu untuk melakukannya.
 Berikan aktivitas rutin sehari- hari sesuai kemampuan.
 Pertimbangkan usia klien jika mendorong pelaksanaan aktivitas sehari-hari.

d. Resiko infeksi
Definisi : Peningkatan resiko masuknya organisme patogen

Faktor-faktor resiko :
- Prosedur Infasif
- Ketidakcukupan pengetahuan untuk menghindari paparan patogen
- Trauma
- Kerusakan jaringan dan peningkatan paparan lingkungan
- Ruptur membran amnion
- Agen farmasi (imunosupresan)
- Malnutrisi
- Peningkatan paparan lingkungan patogen
- Imonusupresi
- Ketidakadekuatan imum buatan
- Tidak adekuat pertahanan sekunder (penurunan Hb, Leukopenia, penekanan respon inflamasi)
- Tidak adekuat pertahanan tubuh primer (kulit tidak utuh, trauma jaringan, penurunan kerja silia, cairan tubuh statis, perubahan sekresi pH, perubahan peristaltik)
- Penyakit kronik

NOC :
 Immune Status
 Knowledge : Infection control
 Risk control
Kriteria Hasil :
 Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi
 Mendeskripsikan proses penularan penyakit, factor yang mempengaruhi penularan serta penatalaksanaannya,
 Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
 Jumlah leukosit dalam batas normal
 Menunjukkan perilaku hidup sehat

NIC :
Infection Control (Kontrol infeksi)
• Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain
• Pertahankan teknik isolasi
• Batasi pengunjung bila perlu
• Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci tangan saat berkunjung dan setelah berkunjung meninggalkan pasien
• Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci tangan
• Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan kperawtan
• Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung
• Pertahankan lingkungan aseptik selama pemasangan alat
• Ganti letak IV perifer dan line central dan dressing sesuai dengan petunjuk umum
• Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi kandung kencing
• Tingktkan intake nutrisi
• Berikan terapi antibiotik bila perlu

Infection Protection (proteksi terhadap infeksi)
• Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
• Monitor hitung granulosit, WBC
• Monitor kerentanan terhadap infeksi
• Batasi pengunjung
• Saring pengunjung terhadap penyakit menular
• Partahankan teknik aspesis pada pasien yang beresiko
• Pertahankan teknik isolasi k/p
• Berikan perawatan kuliat pada area epidema
• Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas, drainase
• Ispeksi kondisi luka / insisi bedah
• Dorong masukkan nutrisi yang cukup
• Dorong masukan cairan
• Dorong istirahat
• Instruksikan pasien untuk minum antibiotik sesuai resep
• Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi
• Ajarkan cara menghindari infeksi
• Laporkan kecurigaan infeksi
• Laporkan kultur positif


DAFTAR PUSTAKA


Apley, A. Graham , Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley, Widya Medika, Jakarta, 1995.

Black, J.M, et al, Luckman and Sorensen’s Medikal Nursing : A Nursing Process Approach, 4 th Edition, W.B. Saunder Company, 1995.

Carpenito, Lynda Juall, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, EGC, Jakarta, 1999.

Dudley, Hugh AF, Ilmu Bedah Gawat Darurat, Edisi II, FKUGM, 1986.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Sistem Kesehatan Nasional, Jakarta, 1991.

Henderson, M.A, Ilmu Bedah untuk Perawat, Yayasan Essentia Medika, Yogyakarta, 1992.

Hudak and Gallo, Keperawatan Kritis, Volume I EGC, Jakarta, 1994.

Ignatavicius, Donna D, Medical Surgical Nursing : A Nursing Process Approach, W.B. Saunder Company, 1995.

Keliat, Budi Anna, Proses Perawatan, EGC, Jakarta, 1994.

Long, Barbara C, Perawatan Medikal Bedah, Edisi 3 EGC, Jakarta, 1996.

Mansjoer, Arif, et al, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid II, Medika Aesculapius FKUI, Jakarta, 2000.

Oswari, E, Bedah dan Perawatannya, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993.

Price, Evelyn C, Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis, Gramedia, Jakarta 1997.

Reksoprodjo, Soelarto, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah FKUI/RSCM, Binarupa Aksara, Jakarta, 1995.

Tucker, Susan Martin, Standar Perawatan Pasien, EGC, Jakarta, 1998.

Minggu, 26 September 2010

SAP ROM

A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Pasien yang mengalami perawatan tirah baring dengan waktu yang lama tanpa melakukan aktivitas apapun sangat mudah mengalami kontraktur pada otot-otot persendian. Gangguan pemenuhan aktivitas yang dialami oleh pasien akan menyebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan pasien yang lain di mana semua itu akan menghambat proses penyembuhan. Mobilisasi mengacu pada kemampuan seseorang untuk bergerak bebas dan imobilisasi mengacu pada ketidakmampuan seseorang untuk bergerak dengan bebas. Keperawatan klinik menghendaki perawat untuk menggabungkan ilmu pengetahuan dan keterampilan ke dalam praktik. Salah satu komponen keterampilan adalah mekanika tubuh. Salah satu istilah untuk menggambarkan usaha untuk mengkoordinasikan sistem muskuloskeletal.
Mekanika tubuh meliputi pengetahuan tentang mengapa dan bagaimana otot tertentu digunakan untuk menghasilkan dan mempertahankan pergerakan secara aman. Dalam mempergunakan mekanika tubuh yang tepat, perawat perlu mengerti mengenai konsep pergerakan, termasuk bagaimana mengkoordinasikan gerakan tubuh yang meliputi fungsi integrasi dari sistem muskuloskeletal (otak, otot, skelet dan syaraf yang berperan).
Pada kondisi tertentu, klien dapat kehilangan kemampuan untuk melakukan pergerakan atau aktivitas. Kondisi seperti ini dapat terjadi karena gangguanpada sistem muskuloskeletal. Baik itu otak, otot, skelet maupun syaraf sistem tersebut.klien dapat kehilangan kemampuan dalam menggerakkan ekstrimitasnya dan anggota gerak lainnya. Ekstrimitas yang tidak digerakan dalam kurun waktu yang lama dapat mengakibatkan atrofi otot atau pengecilan massa otot karena otot tidak pernah dipergunakan untuk beraktivitas. Klien dengan gangguan mobilisasi harus menjadi perhatian perawat untuk mencegah atrofi otot atau merawat jika telah terjadi atrofi pada klien dengan gangguan mobilisasi. Salah satu upaya yang dapat dilakukan perawat dalam mengintervensi gangguan mobilisasi dan mencegah atrofi adalah dengan memberikan tindakan Range of Motion (ROM).
2. Tujuan
Tujuan dilakukannya range of motion adalah untuk memenuhi kebutuhan aktivitas. Aktivitas pada anggota gerak akan memperlancar sirkulasi dan perfusi jaringan. Selain itu, koordinasi persyarafan akan menjadi lebih optimal.
Sedangkan, tujuan dilakukannya range of motion pada pasien dengan gangguan mobilisasi adalah untuk mencegah disuse atrofi syndrome pada otot dengan gangguan mobilitas fisik. ROM dapat merangsang sistem syaraf, meningkatkan perfusi jaringan sekaligus merehabilitasi sistem muskulo skeletal yang mengalami gangguan.

B. Tinjauan Teori
1. Pengertian.
Range of Motion merupakan prosedur dan usaha untuk memenuhi kebutuhan fisik terutama aktivitas gerak (mobilisasi) untuk pasien dengan keterbatasan gerak. ROM terdiri dari fleksi dan ekstensi siku, pronasi dan supinasi lengan bawah, fleksi bahu, baduksi dan adduksi bahu.rotasi bahu, ekstensi jari-jari tangan, inversi dan eversi jari kaki, fleksi dan ekstensi pergelangan kaki, fleksi dan ekstensi lutut, rotasi pangkal paha, abduksi dan adduksi pangkal paha.
2. Tujuan ROM
a. Memelihara dan mempertahankan kekuatan otot
b. Memelihara mobilitas persendian
c. Menstimuulasi persendian
d. Mencegah kontraktur sendi
3. Patofisiologi
Proses terjadinya gangguan aktivitas tergantung dari penyebab gangguan yang terjadi. Ada tiga hal yang yang dapat menyebabkan gangguan tersebut. Diantaranya adalah:
a. Kerusakan otot
Kerusakan otot ini meliputi kerusakan anatomis maupun fisiologis otot. Otot berperan sebagai sumber daya dan tenaga dalam proses pergerakan jika terjadi kerusakan pada otot, maka tidak akan terjadi pergerakan jika otot terganggu. Otot dapat rusak oleh beberapa hal seperti trauma langsung oleh benda tajam yang merusak kontinuitas otot. Kerusakan tendon atau ligaman, radang dan lainnya.
b. Gangguan pada skelet
Rangka yang menjadi penopang sekaligus poros pergerakan dapat terganggu pada kondisi tertentu hingga menggangu pergerakan atau mobilisasi. Beberapa penyakit dapat mengganggu bentuk, ukuran maupun fungsi dari sistem rangka. Diantaranya adalah, farktur, radang sendi, kekakuan sendi dan lain sebagainya.
c. Gangguan pada sistem persyarafan.
Syaraf berperan penting dalam menyampaikan impuls dari dan ke otak. Impuls tersebut merupakan perintah dan koordinasi antara otak dan anggota gerak. Jadi, jika syaraf tergganggu maka akan terjadi gangguan penyampaian impuls dari dan ke organ target. Dengan tidak sampainya impuls maka akan mengakibatkan gangguan mobilisasi.
Kerusakan dapat terjadi pada susunan syaraf pusat (upper motor neuron/UMN) atau pada susunan Syaraf tepi (lower motor neuron/LMN). Yang termasuk UMN adalah otak. Contoh penyakit yang mengganggu otak adalah stroke dan dapat menyebabkan gangguan mobilisasi. Sedangkan untuk LMN adalah Guillaine-bare syndrome dan gangguan sistem syaraf lainnya seperti trauma tulang belakang.

4. Indikasi dilakukan ROM :
a. Pasien tirah baring lama
b. Pasien yang mengalami penurunan tingkat kesadaran
c. Pasien dengan kasus fraktur
d. Pasien post operasi yang kesedarannya belum pulih
5. Diagnosa Keperawatan
a. Kerusakan mobilitas fisik b.d kekakuan sendi/kontraktur
b. Intoleransi aktivitas b. d kelemahan secara umum
6. Prosedur
a. Cara fleksi dan ekstensi pergelangan tangan
Prosedur Kerja:
1). Atur posisi lengan pasien dengan menjauhi sisi tubuh dan siku menekuk dengan lengan
2). Pegang tangan klien dengan satu tangan dan tangan lain memegang pergelangan tangan klien
3). Tekuk tangan klien ke depan sejauh mungkin
4). Lakukan observasi pada perubahan yang terjadi
b. Cara fleksi dan ekstensi siku
Prosedur Kerja:
1). Atur posisi lengan klien dengan menjauhi sisi tubuh dengan telapak mengarah ke tubuh klien
2). Letakkan tangan di atas siku dan pegang tangan klien dengan tangan yang lainnya
3). Tekuk siku klien sehingga tangan klien mendekati bahu
4). Lakukan dan kembalikan ke posisi sebelumnya
5). Lakukan observasi pada perubahan yang terjadi
c. Cara pronasi dan supin
Prosedur Kerja:
1). Atur posisi lengan bawah menjauhi tubuh dengan siku menekuk
2). Letakkan satu tangan pada pergelangan dan pegang tangan pasien dengan tangan lainnya
3). Putar lengan bawah psien sehingga telapak tanga pasien menjauhi pasien
4). Kembalikan ke posisi awal
5). Putar lengan bawah pasien sehingga telapak tangan menghadap ke arah pasien
6). Kembalikan ke posisi semula
7). Lakukan observasi pada perubahan yang terjadi
d. Cara fleksi bahu
Prosedur Kerja:
1). Atur posisi tangan pada pasien di sisi tubuhnya
2). Letakkan satu tangan di atas siku pasien dan pegang tangan pasien dengan tangan lainnya
3). Angkat lengan klien pada posisi awal
4). Lakukan observasi perubahan yang terjadi

e. Cara abduksi dan adduksi bahu
1). Atur posisi lengan klien disamping badannya
2). Letakkan satu tangan di atas siku klien dan pegang tangan klien dengan tangan lainnya
3). Gerakkan lengan klien menjauh dari tubuhnya ke arah perawat
4). Kembalikan ke posisi semula
5). Catat perubahan yang terjadi
f. Cara rotasi bahu
Prosedur Kerja:
1). Atur posisi lenganmenjauhi dari tubuh degan siku menekuk
2). Letakan satu tangan di lengan atas klien dengan siku dan pegang tangan klien dengan tangan yang lain
3). Gerakkan lengan ke bawahsampai menyentuh tempat tidur, telapak tangan mengahadap ke bawah
4). Kembalikan ke posisi semula
5). Gerakkan lengan ke bawahsampai menyentuh tempat tidur, telapak tangan mengahadap ke atas
6). Kembalikan ke posisi semula
7). Obsevasi perubahan yang terjadi
g. Cara fleksi dan ekstensi jari-jari
Prosedur Kerja:
1). Pegang jari-jari pasien dengan satu tangan sementara tangan lainnya memegang kaki
2). Bengkokan jari-jari kaki ke bawah
3). Luruskan jari-jari kemudian dorongan ke belakang
4). Kembalikan ke posisi semula
5). Observasi perubahan yang terjadi
h. Cara infersi dan efersi kaki
Prosedur Kerja:
1). Pegang separuh bagian atas dengan satu tangan dan pegang pergelangan kaki dengan tangan lain
2). Putar kaki ke dalam sehingga telapak kaki menghadap ke kaki lainnya
3). Kembalikan ke posisi semula
4). Putar kaki keluar sehingga telapak kaki menjauhi kaki lainnya
5). Kembalikan ke posisi semula
6). Observasi perubahan yang terjadi
i. Cara fleksi dan extensi pergelangan kaki
Prosedur Kerja:
1). Letakkan satu tangan pada telapak kaki klien dan satu tangan yang lain di atas pergelangan kaki, jaga kaki lurus dan releks
2). Tekuk pergelangan kaki, arahkan jari-jari ke arah dada klien
3). Kembalikan ke posisi semula
4). Tekuk pergelangan kaki menjauhi dada pasien
5). Observasi perubahan yang terjadi

j. Cara fleksi dan extensi lutut
Prosedur Kerja
1). Letakkan satu tangan di bawah lutut klien dan pegang tumit klien dengan tangan yang lain
2). Angkat kaki, tekuk pada lutut dan pangkal paha
3). Lanjutkan menekuk lutut ke arah dada sejauh mungkin
4). Ke bawahkan kaki dan luruskan lutut dengan mengangkat kaki ke atas
5). Kembalikan ke posisi semula
6). Obsevasi perubahan yang terjadi
k. Cara rotasi pangkal paha
Prosedur Kerja:
1). Letakkan satu tangan pada pergelangan kaki dan satu tangan lainnya di atas lutut
2). Putar kaki menjauhi perawat
3). Putar kaki mengarah perawat
4). Kembalikan ke posisi semula
5). Observasi perubahan yang terjadi
l. Cara abduksi dan adduksi pangkal paha
Prosedur Kerja:
1). Letakkan satu tangan di bawah lutut klien dan satu tangan pada tumit
2). Jaga posisi klien lurus, angkat kaki kurang lebih 8 cm dari tempat tidur. Gerakkan kaki menjauhi badan perawat
3). Kembalikan ke posisi semula
4). Obsevasi perubahan yang terjadi


DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2001. Keperawatan medikal bedah. Edisi 8. EGC, Jakarta.
Price S.A, Lorraine MW. Patophysiology, konsep klinis proses-proses penyakit. EGC, Jakarta.
Potter & perry, 2006, Buku ajar fundamental keperawatan edisi 4, EGC, Jakarta.
Triyanto, E. 2006. Range of motion. Modul skill lab keperawatan edisi 3 univ. Jenderal Soedirman NANDA, 2005, Nursing diagnoses; Definitions & Classification, Nanda Internasional, Philadelphia.
Johnson, M, Maas, M, & Moorhead S 2000, Nursing Outcomes Classification (NOC), Mosby, New York.
McSloskey, JC, Bulechek, GM, 2000, Nursing Intervention Classification (NIC), Mosby, New York.